17.21 WIB
Shalat merupakan ibadah pokok dalam Islam dan wajib
dikerjakan bagi orang yang sudah memenuhi persyaratan. Dalam sebuah hadits
disebutkan bahwa shalat ialah amalan pertama yang dilihat (hisab) Allah di hari
akhirat kelak (HR ibnu Majah). Bahkan dalam hadits lain dikatakan, “Antara
hamba (mukmin) dan kafir ialah meninggalkan shalat,” (HR Ibnu Majah).
Maksudnya, meninggalkan shalat dapat menjadi perantara seorang untuk menjadi
kafir. Dua hadits yang dikutip di atas menunjukkan betapa pentingnya
mengerjakan shalat. Terlebih lagi, terdapat kesepakatan ulama (ijma’) bahwa
shalat termasuk kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Siapa pun yang
sudah memenuhi persyaratan, mesti mengerjakannya dalam keadaan apa pun dan
sesulit apa pun. Selain puasa, terdapat kewajiban pokok lain yang hukumnya
setara dengan shalat, seperti puasa, haji, dan zakat. Kemudian, bagaimana
hukumnya mengerjakan puasa, tetapi tidak mengerjakan shalat? Apakah puasanya
masih dihukumi sah mengingat shalat sebagai amalan utama dan pokok? Untuk menjawab
pertanyaan ini, kita mesti merinci terlebih dahulu atau paling tidak bertanya
kepada orang yang tidak shalat tersebut, kira-kira apa alasannya meninggalkan
shalat. Apakah karena mengingkari kewajibannya atau lantaran malas. Sebab
keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda-beda.
Hasan Bin Ahmad Al-Kaf dalam Taqriratus Sadidah fi Masail
Mufidah menjelaskan: له حالتان: فتارة يتركها جحودا وتارة يتركها كسلا: إذا تركها
جحودا، أي: معتقدا أنها غير واجبة هو كالمرتد........، إذا تركها كسلا: وذلك بأن أخرجها عن وقت الضرورة
فهو مسلم
Artinya, “Ada dua kondisi orang yang meninggalkan shalat:
meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya dan meninggalkan shalat
karena malas. Orang yang masuk dalam kategori pertama, maka ia dihukumi murtad.
Sementara orang yang meninggalkannya karena malas, hingga waktunya habis, maka
ia masih dikatakan muslim.” Berdasarkan pendapat ini, orang yang tidak
mengerjakan shalat karena mengingkari kewajibannya, puasanya batal secara
otomatis. Sebab dia sudah dianggap murtad dan keluar dari Islam termasuk hal
yang dapat membatalkan puasa. Sementara puasa orang yang tidak mengerjakannya
karena malas atau sibuk, statusnya masih muslim dan puasanya tidak batal secara
esensial. Kendati puasanya tidak batal secara esensial atau secara hukum fikih
tidak dianggap batal dan tidak wajib qadha, namun puasanya tidak bernilai
apa-apa dan pahalanya berkurang.
Dalam Taqriratus Sadidah disebutkan: بطلات الصوم هي قسمان: قسم
يبطل ثواب الصوم لا الصوم نفسه، فلا يجب عليه القضاء، وتسمى محبطات. وقسم يبطل الصوم
وكذلك الثواب – إن كان بغير عذر- فيجب فيه القضاء، وتسمى مفطرات.
. Artinya, “Pembatalan puasa itu dibagi menjadi dua
kategori: pertama, pembatalan yang merusak pahala puasa, namun tidak
membatalkan puasa itu sendiri. Kategori ini dinamakan muhbithat (merusak pahala
puasa) dan tidak diwajibkan qadha; kedua, sesuatu yang dapat membatalkan puasa
dan merusak pahalanya. Bila melakukan ini tanpa ozor, maka wajib mengqadha
puasa di hari lainnya. Kategori ini dinamakan mufthirat (membatalkan puasa).
Menurut penulis, meninggalkan shalat itu dapat dikategorikan sebagai muhbithat
al-shaum. Dia tidak merusak keabsahan puasa, tetapi dia merusak pahala puasa.
Sehingga, ibadah puasa yang mereka kerjakan tidak bernilai di hadapan Allah.
Meskipun demikian, dia diharuskan untuk tetap berpuasa sebagaimana mestinya dan
mengqadha shalat yang ditinggalnya. Wallhuaqlam
0 komentar:
Posting Komentar